Kamis, 03 Januari 2013

PERMASALAHAN PENDIDIKAN

PERMASALAHAN PENDIDIKAN MASA KINI

Oleh: Fitwi Luthfiyah

  1. Pendahuluan
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya pendidikan. Shane (1984: 39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain, manusia dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 198-199).
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan. Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya.
Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal.
  1. Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini
Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global.
Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.
Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.
  1. Permasalahan Globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak.
Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.
Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.
Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.
  1. Permasalahan perubahan sosial
Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat.
Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi sosial, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
  1. Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
  1. Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.
Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.
  1. Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.
Menurut Suyanto (2006: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2006: 28) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.
Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
  1. Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2006: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).
Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.
  1. Kesimpulan dan Saran
Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. Makalah ini dengan segala keterbatasannya, hanya sempat menyoroti beberapa diantaranya yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan social sebagai lingkungan pendidikan.
Sedangkan menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah saling terkait.
Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi dewasa ini.
Sebagai insan yang berpendidikan, kita tentu masih terus berharap akan datangnya perubahan fundamental terhadap sistem pendidikan kita. rasa optimis menatap masa depan wajib terbersit di lubuk hati kita semua, meskipun banyak sekali problem yang belum terentaskan. Rasa optimis menjadi “kata kunci” (key word) bagi semua idealisme perubahan itu. Seperti Paulo freire yang telah berhasil memerdekakan rakyat Brazil dari buta huruf, keterbelakangan, dan kemiskinan. Kita tidak bisa membayangkan, betapa besar rasa optimis seorang Freire sewaktu berjuang dengan sekuat tenaga dan pikirannya untuk membebaskan rakyat Brazil dari buta huruf, keterbelakangan, dan kemiskinan itu.
Meskipun banyak problem yang dihadapi oleh pendidikan nasional, namun itu semua tidak boleh menyurutkan semangat kita. Bagaimanapun juga, pendidikan nasional merupakan investasi bagi masa depan bangsa. Sebab, melalui pendidikan nasional, masa depan bangsa sedang dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang tidak kalah kualitasnya dengan negara-negara lain. Kita perlu mengingat kembali kata Cicero, “Pekerjaan apakah yang lebih mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar generasi yang sedang tumbuh?”.
Dengan demikian, sebagai seorang yang berada di dunia pendidikan kita tidak perlulah merasa putus asa. Ini seperti yang dikatakan oleh Suyanto (2006: ), Sitem pendidikan nasional sedang beranjak menuju perubahan. Akan tetapi, perubahan itu jelas tidak bisa dalam sekali waktu yang langsung memperlihatkan hasil secara maksimal. Sebab, mengelola sistem pendidikan nasional ibarat menanam modal (investasi) untuk jangka panjang. Tetapi wujud keberhasilannya tidak seketika. Jika investasi dalam bentuk bisnis jelas akan menghasilkan untung-rugi secara riil, karena dapat diukur dengan besarnya nominal rupiah. Namun investasi pendidikan adalah berbentuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang riil bagi generasi bangsa. Karena tujuan nasional pendidikan kita adalah untuk membangun mentalitas yang berkarakter.
Daftar Pustaka

Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto    ( ed ). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
Karim, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam sebai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan.
Maarif, Ahmad Syafii, 1987. “Masalah Pembaharuan Pendidikan Islam”, dalam Ahmad Busyairi dan Azharudin Sahil ( ed .). Tantangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: LPM UII.
Maarif. Ahmad Syafii, 1996. “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 2 Th.I/Oktober 1996.
Othman, Ali Issa, 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk. Bandung: Pustaka.
Shane, Harlod G., 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko, 1991. “Nasionalisme sebagai Prospek Belajar”, Prisma, No. 2 Th. XX, Februari.
Suyanto, 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percanturan Dunia Global). Jakarta: PSAP Muhammadiyah
readmore »»  

PARADIGMA PENDIDIKAN

PARADIGMA PENDIDIKAN MASA KINI DAN MASA AKAN DATANG

  1. Pendahuluan
Salah satu prinsip gerakan reformasi dalam pendidikan adalah “pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta mereka dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pendidikan”. Sejalan dengan prinsip di atas, perubahan mendasar menuju paradigma pendidikan masa depan adalah pelaksanaan pendidikan berbasis sekolah atau madrasah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi Perguruan  Tinggi pada tingkat pendidikan tinggi. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola oleh pemerintah dan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat, serta perbedaan pengelolaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.
Pasal 53 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, seperti SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB Negeri tidak harus berbentuk atau di bawah Badan Hukum Pendidikan (BHP). Sementara Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti, Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Keagamaan, dan Madrasah Negeri harus berbentuk atau di bawah BHP. Pada satuan pendidikan dasar dan menengah, dengan adanya Majelis Wali Amanat (MWA), Komite Sekolah atau Madrasah ditiadakan, dan fungsinya dijalankan oleh Majelis Wali Amanat (MWA).
  1. Rencana Strategi
Beberapa hal penting berkaitan dengan rencana strategis tentang paradigma pendidikan masa akan datang, dirumuskan melalui prinsip visioner, meliputi; (1) visi, (2) misi, (3) motto; dan (4) analisis lingkungan strategi. Analisis tersebut meliputi: Pencermatan Lingkungan Internal (PLI), yaitu memperhatikan kekuatan, terdiri dari: pengalaman program sekolah, SDM, strategi sekolah, dan  strategi jurusan. Selanjutnya, memperhatikan kelemahan  yang meliputi: sarana dan prasarana, sistem penunjang administrasi, kualitas layanan, akreditasi sekolah, pemerataan kompetensi guru, keterampilan tenaga laboratorium, atmosfir akademik, penelitian, sumber dana, tingkat kesejahteraan guru dan tenaga administrasi, dan sistem database sekolah. Selain itu, Pencermatan Lingkungan Eksternal (PLE), memuat: Peluang. Kebijakan pemerintah untuk: (1) pengembangan Kawasan Timur Indonesia (Sul-Sel, gerbang utama), (2) Badan Hukum Pendidikan, (3) guru sebagai tenaga professional, dengan gaji yang layak; (4) kesempatan kerjasama dengan Dunia Usaha dan Industri (DUDI), (5) kesempatan memperoleh hibah dari lembaga donor, pemerintah dan swasta dari dalam maupun luar negeri, (6) tersedianya potensi sumber daya alam, (7) kebijakan nasional tentang pengembangan budaya kewirausahaan, (8) peluang kerjasama dengan alumni, (9) orangtua siswa yang mempunyai kemampuan berbagai bidang yang berbeda-beda. Ancaman, meliputi: (1) rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi, (2) terbatasnya kesempatan memperoleh lapangan kerja, (4) adanya sejumlah sekolah yang menawarkan program yang sama, (5) pesatnya perkembangan IPTEKS dalam proses pembelajaran, (6) derasnya arus globalisasi yang berdampak pada persaingan kerja, dan (7) adanya kebijakan liberalisasi pendidikan yang memungkinkan sekolah asing untuk beroperasi di Indonesia.
C. Beberapa Kelemahan Paradigma Pendidikan Sekarang

Telah banyak usaha dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Namun di sisi lain, terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan mutu pendidikan sulit untuk ditingkatkan. Pertama, kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak konsekuen. Kebijakan ini hanya mengandalkan input yang baik untuk menghasilkan output yang baik, masalah proses hampir diabaikan. Kebijakan seperti ini lebih menekankan pada lembaga pendidikan sebagai pusat produksi. Kedua, penyelenggaraan pendidikan secara sentralistik. Keputusan birokrasi dalam hal ini hampir menyentuh semua aspek sekolah, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi sekolah tersebut. Akibatnya, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan lembaganya. Ketiga, peran serta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan masih kurang. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan hanya bersifat dukungan dana. Padahal yang lebih penting adalah partisipasi dalam hal proses pendidikan yang meliputi; (1) pengambil keputusan, (2) monitoring, (3) evaluasi, dan (4) akuntabilitas. Dengan demikian, sekolah dan masyarakat secara bersama-sama bertanggungjawab dan berkepentingan terhadap hasil pelaksanaan pendidikan, bukan sekolah yang bertanggungjawab kepada masyarakat terhadap hasil pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Selanjutnya, dikembangkan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan menuju paradigma baru, yaitu:
Pola Lama Menuju Pola Baru
F Subordinasi
F  Otonomi
F Pengambilan keputusan terpusat
F  Pengambilan keputusan partisipasi
F Ruang gerak kaku
F  Ruang gerak luwes
F Pendekatan birokratik
F  Pendekatan profesional
F Sentralistik
F  Desentralistik
F Diatur
F  Motivasi diri
F Overregulasi
F  Deregulasi
F Mengontrol
F  Mempengaruhi
F Mengarahkan
F  Memfasilitasi
F Menghindari resiko
F  Mengelola resiko
F Gunakan uang semuanya
F  Gunakan yang seefisien mungkin
F Individu yang cerdas
F  Informasi terbagi
F Informasi terpribadi
F  Pemberdayaan
F Pendelegasian
F  Organisasi datar
F Organisasi herarki

(Sumber, E. Suparman, 2006)
  1. Building the School of the Future
Terdapat 5 faktor utama yang perlu diperhatikan dalam membangun sekolah masa depan, yaitu;
(1)   Involved and Connected Learning Community
Salah satu indikator penting paradigma pendidikan masa depan adalah keterlibatan secara aktif seluruh komponen masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Mereka yang dimaksud adalah stake-holder, orangtua, oraganisasi massa (ORMAS), perguruan tinggi, dan Dunia Usaha dan Industri (DUDI). Berkaitan dengan hal ini, dukungan seluruh proses pelaksanaan pendidikan sangat dibutuhkan untuk terjadinya sinergi yang berkelanjutan dan dinamis.
(2)   Proficient and Inviting Curriculum-Driven Setting
Beberapa hal yang terkait langsung dengan hal di atas, yaitu: (a) pembangunan fisik mendukung terlaksananya pendidikan berbasis masyarakat, (b) pembangunan infrastruktur pendukung yang memungkinkan mobilitas yang tinggi dengan pertukaran data yang lebih mudah, (c) semua ruang kelas dirancang dan dilengkapi media pembelajaran yang diperlukan, sehingga memungkinkan proses pembelajaran dapat berjalan kapan saja, dan (4) media pembelajaran mampu memobilisasi, fleksibel, dan mudah disesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam aktivitas pembelajaran.
(3)   Flexible and Sustainable Learning Environment
Atmosfir pembelajaran yang kondusif merupakan salah satu indikator penting bagi masyarakat dalam memilih tempat belajar untuk anak mereka. Selain itu, atmosfir akademik yang kondusif, berbeda, dan Student-Centre memungkinkan siswa mengembangkan potensinya dengan baik. Suasana akademik yang baik mempunyai tingkat ketergantungan yang relatif kecil terhadap waktu dan tempat. Suasana akademik yang ada sistematik dan tidak terikat pada perubahan.
(4)   Cross-Curriculum Integration of Research and Development
Dalam rangka menjaga keberlangsungan integrasi kurikulum; (a) profesionalisme staf  seyogyanya didukung oleh kegiatan penelitian dan pengembangannya, (b) tetap menjaga kerjasama dengan dewan riset dan pengembangannya dalam menerapkan hasil-hasil penelitian terkini, dan (c) school berfungsi sebagai laboratorium pembelajaran, di mana guru dan siswa dapat merancang, melakukan, dan mengevaluasi hasil-hasil penelitian dalam rangka mengembangkan proses pembelajaran.
(5)   Professional Leadership
Kepemimpinan yang profesional meliputi: (a) dampak pembelajaran yang baik, (b) strategi berpikir, (c) motivasi dan dorongan stake-holders, (d) pemanfaatan teknologi dalam setiap kesempatan, (e) merancang dan mendemostrasikan pengembangan profesional sesuai kebutuhan, (f) berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat, (g) memaparkan pertanggungjawaban keuangan, dan (h) melakukan evaluasi secara berkelanjutan dengan cara kolaborasi.
E. Aset yang Pengembangan Menyongsong Paradigma Pendidikan Masa depan
Berkaitan dengan metode pengembangan aset sebagai sumber pendapatan institusi, termasuk kampus atau sekolah dalam menyongsong paradigma pendidikan masa depan, eksistensi pelayanan sekolah sangat penting artinya. Ihrig & Sullivan (1995) secara umum menyarankan beberapa aset yang memungkinkan untuk dikembangkan pada sekolah atau kampus untuk memperoleh pendapatan baru dalam menyongsong paradigma pendidikan masa akan datang. Sumber pendapatan tersebut meliputi:
v  Selling Information
  • Intellectual property
  • Research parks
  • Interpreting data for regional businesses
v  Teaching
  • Corporate training programs, domestic or foreign
  • Continuing part-time education for working adults
  • Elderhostel programs
v  Using Alumni Resources
  • Alumni continuing education
  • Professional services for alumni
  • Retirement housing
v  Providing Services  to Employes, Students, and Visitors
  • Hotels
  • Leasing space to private businesses
v  Using Campus Land and Facilities
  • Utilizing existing land to its fullest income potential
  • Buying or accepting gifts of land with income potential
  • Business incubators
Secara khusus penulis mengusulkan beberapa aspek yang perlu diperhatikan, dibenahi, dan dikembangkan dalam rangka menghadapai paradigma pendidikan masa kini dan masa depan, diantaranya:
  1. Penutup



DAFTAR PUSTAKA
Ihrig. W.E. & Sullivan, J.F. Revenue Opportunities for the Public Institution. 1995. In S.L. Johnson & S.C Rush (Eds). Reinventing the University. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Jones, Jane. 2005. School of the Future. Exhibition, Student Handbook. Mathematics and Science Investigation. [Tersedia: www.sof.org].
Microsoft Team. 2006. Building the School of the Future. USA: Microsoft
Suparman, Eman. 2006. Manajemen Pendidikan Masa Depan. [Tersedia: www.Depdiknas.co.id].
Upu, Hamzah. 2006. Badan Hukum Pendidikan. Sekolah-sekolah di Sul-Sel Layak? Makalah yang Disampaikan pada Kegiatan Pembekalan Kepala Sekolah baru di Kabupaten Takalar, Takalar.
Upu, Hamzah. 2006. Badan Hukum Pendidikan. Universitas Negeri Makassar Layak? Makalah yang Disampaikan pada Kegiatan Intermediate Training Mahasiswa UNM, UNHAS, dan UIN. Makassar. BALATKOP.
Upu, Hamzah. 2006. Pengembangan Renstra Jurusan. Makalah yang Disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Hibah Kompetisi Dosen Cokroaminoto Palopo. Palopo: STKIP Cokroaminoto.
readmore »»